MIMIKA – Malam itu, Jumat (8/8/2025), gerimis turun tipis di Jalan Hassanudin, Timika, Papua Tengah. Udara lembap menyelimuti kota yang baru saja diterangi lampu jalan.
Lantai satu Flash Coffee terasa hangat oleh aroma kopi hitam yang baru diseduh, bercampur wangi pisang goreng yang baru saja keluar dari penggorengan. Di luar, deru motor sesekali memecah suara rintik hujan yang membasahi aspal.
Di sudut ruangan yang bercahaya kekuningan, duduklah Vera Kogoya, remaja berusia 16 tahun, bersama kakaknya, Irna. Jaket hitam membalut tubuh mungilnya.
Rambut keriting alami miliknya—yang sering menjadi ciri khas gadis-gadis Papua—dianyam rapi menjadi dua kepang yang jatuh di depan bahu. Sesekali ia menatap layar ponselnya, lalu kemudian tersenyum kecil pada sang kakak.
Dari kejauhan, Vera mungkin terlihat seperti siswi SMA biasa yang sedang menikmati malam di sebuah kafe. Namun begitu ia berbicara, nada suaranya tegas, matanya memandang lurus, dan setiap kalimatnya seolah sudah mengandung peta jalan hidup yang ia rancang sendiri. Tidak ada kesan ragu, apalagi malu-malu.

Meski masih duduk di kelas XI SMA Negeri 1 Timika, Vera sudah memegang daftar kesibukan yang membuat orang dewasa pun terengah membacanya: Duta Anti Narkoba Mimika 2025, atlet basket dan rugby, penari tradisional, penyanyi, pebisnis muda, master of ceremony (MC), dan penggiat public speaking.
Baginya, semua itu bukanlah sekadar aktivitas untuk mengisi waktu luang. “Saya ingin berguna, bukan hanya bagi diri sendiri, tapi juga untuk semua orang,” ujarnya mantap, sebelum menyeruput kopi panasnya.
Bangkit dari Luka Perundungan
Kisah Vera tidak dimulai di panggung penuh tepuk tangan, melainkan dari ruang kelas kecil di sekolah dasar yang penuh cibiran. Ia mengaku pernah menjadi korban perundungan hanya karena rambut keritingnya yang dianggap “aneh” oleh sebagian teman.
“Mereka sering buli saya dengan panggil saya keriting, keriting, keriting. Waktu itu saya diam saja. Saya pendam. Tidak lapor ke orang tua, tidak membalas,” kenangnya pelan.
Diamnya Vera bukan sebagai tanda ia menyerah. Sebab, Vera lebih memilih jalan yang lebih elegan untuk membalas cibiran itu dengan membuktikan bahwa dirinya memiliki bakat, talenta, dan kemampuan yang tidak dimiliki oleh para pelaku buli tersebut.
Kesempatan untuk membuktikan itu datang ketika ia duduk di kelas V SD. Wali kelas menunjuknya untuk mengikuti lomba bercerita. Keberanian Vera menjawab pertanyaan di kelas membuat gurunya yakin bahwa ia layak tampil.

Meski ia tidak keluar sebagai juara, pengalaman itu membukakan pintu besar bagi Vera: kepercayaan diri untuk berbicara di depan umum.
Irna, kakaknya, melihat potensi yang dimilikinya itu dan mulai melatih Vera di rumah. Latihan demi latihan membuat panggung tidak lagi terasa menakutkan bagi Vera. Dari lomba pidato antar kelas, MC di acara sekolah, hingga kompetisi yang lebih besar, Vera melangkah dengan penuh percaya diri.
Atlet Basket dan Rugby yang Tidak Takut Tantangan
Olahraga menjadi salah satu pelabuhan energi Vera. Minatnya pada basket bermula dari gereja. Seorang teman yang juga atlet basket mengajarinya teknik dasar.
“Saya suka dengan bola basket itu semenjak saya punya teman di gereja, dia itu merupakan atlet basket, dan saya terinspirasi dari teman saya itu,” ungkap Vera mengisahkan awal mula mengenal olahraga basket.
“Jadi, waktu itu ceritanya saya masih duduk di bangku SMP kelas 1. Teman itu mengajarkan saya apa itu bola basket, terus bagaimana cara mainnya, sehingga lama-kelamaan muncul rasa ketertarikan untuk ikut latihan,” imbuhnya.
Seiring waktu berjalan, Vera pun jatuh cinta pada permainan itu dan bergabung dengan klub Zetro Basketball Perbasi.

Namun, Vera tidak berhenti di olahraga basket saja. Suatu hari, ia melihat video rugby di TikTok dan Instagram. Gerakan cepat, strategi tim, dan tantangan fisiknya membuat Vera penasaran.
“Awalnya saya penasaran dan akhirnya saya memilih untuk bergabung dan join di klub yang namanya Mimika Rugby. Itu latihannya di Timika Indah,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Di Timika, rugby bukan olahraga populer. Lapangan latihan sederhana, peralatan terbatas, dan jumlah pemain wanita tidak banyak. Tapi bagi Vera, itu justru yang menjadi alasan untuk dia tetap bertahan.
Vera ingin menunjukkan bahwa anak-anak Papua bisa berprestasi di cabang olahraga apa saja, bahkan yang jarang diminati sekalipun.
Seni: Dari Suara Serak Hingga Tari Papua
Selain olahraga, Vera juga berkiprah di dunia seni. Awalnya, ia merasa ragu untuk bernyanyi karena suaranya yang serak. Namun, lomba nyanyi antarkelas di SMP Negeri 2 kala itu berhasil mengubah pandangannya.
Vera keluar sebagai juara pertama. Hal itu membuktikan bahwa suaranya yang khas bisa menjadi keunikan tersendiri.
“Akhirnya dari situ muncul niat untuk ikut-ikut lomba terus. Dan waktu saat kelas IX, ada lomba antarsekolah, saya juga ikut. Walaupun tidak juara namun saya mendapatkan sertifikat dan juga pengalaman. Setelah itu, setiap kegiatan menyanyi ataupun paduan suara, saya join untuk di sekolah,” jelas Vera.

Di bidang tari, Vera telah menggelutinya sejak duduk di banku SD. Tahun 2018 silam, ia dipilih mengikuti tarian seka massal dalam sebuah acara seremonial pelantikan bupati.
Sejak saat itu, ia fokus pada tarian Papua dan bergabung di sanggar sekolah SMA Negeri 1, yaitu Smantars. Latihan rutin membawanya menjuarai lomba FLS3N di tingkat kabupaten. Bulan ini, ia dan temannya bakal mewakili Mimika di kompetisi tingkat provinsi di Nabire.
Pebisnis Muda dari Pisang Goreng
Di sela-sela kesibukannya, Vera juga menyempatkan diri untuk mengelola bisnis kecil bernama “Jajanmanjah”. Modal awalnya hanya Rp50 ribu, dipinjam dari sang ibu, Tarsiwen, yang berjualan di kantin sekolah.
Vera pun berhasil mengolah pisang menjadi keripik berlapis cokelat. Ia kemudian memotret produknya, lalu memasarkan lewat media sosial Instagram.
“Waktu itu, awalnya saya bingung mau buat bisnis apa yang kira-kira modalnya kecil, tapi untungnya besar. Jadi, saya putuskan untuk bisnis makanan. Dan saya pikir lagi makanan apa yang modalnya murah? Ternyata pisang,” jelas Vera.
“Kebetulan saya punya IG yang memang followers-nya sudah banyak, jadi saya memanfaatkan hal itu. Saya buat story, saya pamerkan, saya buat iklan, promosi, dan banyak teman-teman yang beli. Waktu itu juga pas lagi hari-hari libur. Akhirnya saya memilih untuk daripada libur, rebahan-rebahan, mending saya jualan,” lanjut Vera dengan semangat.

Sehari jualan, modal yang Vera keluarkan bisa kembali berlipat-lipat. “Awalnya modalnya Rp50 ribu, kembali Rp200 ribu. Modal Rp100 ribu, kembali Rp300 ribu. Lama-kelamaan jadi senang dan akhirnya kecanduan untuk jualan,” ungkap Vera bahagia.
Kendati demikian, akhir-akhir ini, Vera mulai menghadapi tantangan soal waktu dan biaya.
Ayahnya, Yesaya Kogoya, yang bekerja sebagai pendulang di pedalaman Merauke, sudah enam bulan tidak kunjung pulang. Sebagian besar beban biaya rumah tangga ditanggung penuh oleh sang ibu.
“Ya memang cukup sulit, tapi itu bukan menjadi kendala yang harus buat saya berhenti, buat saya menyerah, tidak. Itu malah menjadi penyemangat bagi saya untuk lebih semangat lagi belajar, lebih semangat lagi buktikan bahwa saya bisa,” ucapnya dengan tekad yang kuat.
Duta Anti Narkoba dan Kritik untuk Pemerintah
Tahun ini juga, Vera telah berhasil melalui seleksi ketat untuk menjadi Duta Anti Narkoba Mimika 2025. Tes tulis, tes urin, wawancara, hingga grand final di Graha Eme Neme Yauware ia jalani tanpa hambatan.
Bagi Vera sendiri, gelar itu bukanlah sesuatu yang didapat untuk sekadar gaya-gayaan, melainkan sebuah amanah yang harus diemban dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
“Jadi memang Duta Anti Narkoba itu bukan hanya kami menerima selempang terus kami pakai untuk gaya-gaya. Namun, selempang itu menjadi bukti bahwa kita wajib bisa memberikan edukasi dan materi tentang bahaya narkoba kepada seluruh masyarakat,” ujar Vera.

Vera merupakan sosok kritis yang tak segan memberikan kritik. Ia menyoroti rendahnya kesadaran masyarakat tentang bahaya narkoba di Timika, terutama di kalangan anak-anak. Ia mencontohkan bahwa rokok adalah pintu masuk perilaku adiktif yang sering diremehkan.
“Itu bibit-bibit awal pecandu narkoba. Pemerintah harus sadar bahwa anak-anak Timika punya masa depan. Perlu kegiatan dan program nyata untuk menjaga mereka,” tegasnya.
Mimpi Menjadi Seorang Gubernur
Cita-cita Vera nyaris terdengar terlalu besar untuk ukuran anak SMA, yakni menjadi gubernur. Kata Vera, setelah tamat dari SMA nanti, ia ingin menempuh pendidikan di IPDN untuk mengasah kemampuan kepemimpinan.
“Masih kurang orang di daerah saya yang punya pola pikir besar. Saya ingin semua anak Papua percaya diri dan berprestasi,” ujarnya.
Instagram menjadi panggungnya menyebarkan inspirasi. Ia mengunggah prestasi bukan untuk ajang pamer, melainkan untuk memotivasi dan menunjukkan bahwa prestasi adalah hal yang lebih membanggakan daripada sekadar ikut tren pacaran atau memamerkan penampilan.
Menuju Papua Tengah Terang
Di tahun ke-80 kemerdekaan Indonesia ini, kisah perjalanan Vera Kogoya menjadi potret kecil dari mimpi besar “Papua Tengah Terang”—sebuah visi di mana pendidikan, kesehatan, dan ekonomi berjalan seimbang.
Pendidikan dapat membentuknya menjadi remaja yang percaya diri dan berwawasan; kesehatan menjaga tubuhnya tetap bugar untuk terus berprestasi di bidang olahraga dan seni; serta ekonomi memberinya dorongan untuk senantiasa berwirausaha demi kemandirian.

Vera sadar, jalannya masih panjang. Namun dengan semangat yang ia bawa dari bangku sekolah, lapangan olahraga, panggung seni, hingga meja bisnis, ia percaya bahwa mimpinya bukan sekadar angan.
Malam itu, hujan di luar kafe belum juga reda. Lampu-lampu Kota Timika memantulkan cahaya di jalanan basah, memberi kilau tambahan pada tatapan Vera yang penuh keyakinan.
“Masa muda tidak bisa diulang dua kali, jadi harus dimanfaatkan betul-betul.” katanya sambil tersenyum.
Dan di balik kepang rambut sederhananya, tersimpan tekad yang suatu hari mungkin akan menyalakan terang—bukan hanya untuk Papua Tengah, tapi seluruh Papua.
Pesan Vera kepada muda-mudi, yang bersamanya akan menyongsong generasi emas mendatang, agar selalu percaya diri mengembangkan talenta dan berani untuk mencoba hal-hal baru, serta fokus pada tujuan.
“Jangan pernah kita merasa gengsi, jangan pernah kita merasa malu, jangan pernah merasa takut. Harus berani mencoba, harus berani ambil keputusan,” pungkasnya.