MIMIKA – Ada cerita tentang Puncak Cartenz dari seorang pendaki gunung asal Timika, Papua Tengah. Dia adalah Irfan, seorang pendaki yang cinta akan alam sejak duduk di bangku kuliah.
Irfan yang kini lebih banyak menghabiskan waktunya sebagai seorang pengusaha mengisahkan perihal Puncak Cartenz di sela-sela kesibukannya saat ditemui Galeripapua.com beberapa waktu lalu di Kafe Lorentz, Jalan Ahmad Yani, Timika, Papua Tengah, Rabu (30/8/2023).
Sebagai salah satu gunung yang juga terdaftar dalam seven summits dunia, Puncak Cartenz atau yang lebih dikenal dengan Cartenz Pyramid di mata seorang Irfan memilik tingkat kesulitan dan keunikan tersendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kata Irfan, setiap pendaki tentu punya tingkat kepuasan tersendiri saat melakukan misi pendakian. Bahkan, ada juga pendaki yang hanya sampai di basecamp sudah merasa cukup dalam perjalanannya menyusuri tanah, bebatuan bahkan tumpukan salju.
Puncak Cartenz sendiri menurut Irfan tidak dapat ditaklukkan dengan mudah oleh siapapun. Untuk sampai ke puncak, butuh semangat yang gigih karena rintangan yang harus dilalui seorang pendaki untuk menaklukkan Cartenz Pyramid tidaklah gampang.
Ada beberapa jalur yang bisa ditempuh untuk naik ke Puncak Cartenz. Di antaranya adalah jalur pendakian dari Ilaga dan Sugapa yang bisa ditempuh dalam waktu 16 hari kurang lebih (naik dan turun).
Selain itu, Cartenz Pyramid juga bisa ditempuh menggunakan helikopter dengan waktu kurang lebih 25 menit untuk sampai ke basecamp yellowvaley.
Walau memiliki beberapa jalur untuk bisa ditempuh menuju Puncak Cartenz, biaya yang dikeluarkan seorang pendaki untuk satu kali ekspedisi tidaklah sedikit.
Seorang pendaki harus menguras tabungannya hingga ratusan milliar dalam satu kali ekspedisi pendakian Puncak Cartenz.
Irfan menjelaskan, naik dengan sistem ekspedisi banyak hal yang tentunya harus dipersiapkan dengan matang, mulai dari perlengkapan hingga kesehatan.
Hal ini dikarenakan medan yang nantinya dilalui memiliki tingkat kesulitan yang beragam, bahkan dapat berakibat fatal bagi seorang pendaki, terlebih bagi orang Indonesia yang biasanya mengalami hipotermia atau penurunan suhu tubuh secara drastis yang berpotensi berbahaya.
Penyebab yang paling umum adalah berada di lingkungan bersuhu dingin dalam waktu yang lama, atau aktivitas ekstrim dan altitude sickness atau penyakit ketinggian.
“Jadi, bukan trip gunung yang dikira-kira orang ini kita mau naik gunung yang seperti di Jawa, karena dengan ketinggian 4.200 mdpl itu di Indonesia udah yang paling tertinggi,” tutur Ifran.
“Sistemnya kalau menurut saya udah ekspedisi, jadi kelengkapannya seperti gearnya udah yang harus berkualitas, karena medannya untuk naik ke dinding Cartenz itu kalau normal itu kan kalau sehat dan normal itu 12 sampai 14 jam itu (pulang-pergi),” imbuhnya.
Ifran mengungkapkan, ada beberapa kejadian yang sudah dialami sejumlah pendaki di Puncak Cartenz. Paling parah hingga meninggal dunia.
“Itu hipotermia sama penyakit ketinggian. Jadi, semua butuh manjat,” jelas Irfan.
Puncak Cartenz sendiri memiliki catatan sejarah yang cukup unik. Puncak Cartenz yang menjadi rumah bagi flora dan fauna endemik, langka, dilindungi bahkan purba.
Pasalnya, Puncak Cartenz merupakan salah satu kawasan observasi yang masuk dalam Taman Nasional Lorentz.
Irfan mengatakan, jika dilihat, ekosistem yang ada di kawasan tersebut terbilang sangat komplit. Mulai dari salju abadi yang ada di pegunungan Jayawijaya (Puncak Cartenz) di kawasan dataran tinggi hingga Taman Nasional Lorentz di dataran rendah.
“Jadi, ekosistemnya kalau di Puncak Cartenz sampai taman Nasional Lorentz itu komplit gitu. Dari salju, pegunungan terus sampai pesisir itu komplit dan jaraknya pun tidak jauh-jauh. Jadi, dia kayak dari atas turun terus bakau, terus pesisir. Itu yang jadi uniknya,” ujar Irfan.
Irfan menceritakan, Puncak Jaya atau yang sering disebut Cartenz Pyramid ini memiliki ketinggian 4.883 meter diatas permukaan laut (mdpl). Puncak ini pertama kali dilihat oleh penjelajah Belanda bernama Jam Cartenszoon.
Singkat cerita, ia pertama kali melihat padang salju di puncak gunung saat hari cerah pada tahun 1623. Kemudian, padang salju Puncak Jaya itu berhasil didaki oleh seorang penjelajah Belanda bernama Hendrikus Albertus Lorentz pada awal tahun 1909.
Lalu, pada tahun 1936, ekspedisi Cartensz yang diprakarsai Belanda, tidak mampu menetapkan dengan pasti yang mana dari ke tiga puncak adalah yang tertinggi. Lantas mereka memutuskan untuk berusaha mendaki masing-masing puncak.
Ekspedisi Cartenz yang beranggotakan Anton Colijn, Jean Jacques Dozy, dan Frits Julius Wissel mencapai padang gletser Carstensz Timur dan Puncak Ngga Pulu pada 5 Desember.
Karena gletser yang mencair, ketinggian Puncak Ngga Pulu menjadi 4.862 meter, tetapi telah diperkirakan bahwa pada tahun 1936 (ketika gletser masih tertutup puncak seluas 13 kilometer persegi), Ngga Pulu memang puncak yang tertinggi dengan ketinggian lebih dari 5.000 mdpl.
Selanjutnya, Philip Temple dari Selandia Baru, pernah memimpin ekspedisi ke wilayah tersebut dan merintis akses beserta rute ke pegunungan. Setelah misi itu, aktivitas ekspedisi tak lagi berjalan. Setelahnya, Puncak Jaya tak pernah lagi didaki.
Pada tahun 1962, pendakian kembali dilakukan oleh salah satu ekspedisi yang dipimpin oleh pendaki gunung Austria, Heinrich Harrer, dengan tiga anggota ekspedisi lainnya bernama Robert Philip Temple, Russell Kippax, dan Albertus Huizenga.
Pada tahun 1963, puncak ini berganti nama menjadi Puncak Soekarno, setelah itu kemudian diganti menjadi Puncak Jaya. Selain itu, nama Piramida Carstensz sendiri masih digunakan di kalangan para pendaki.
Sementara itu, Lorentz merupakan taman Nasional terbesar di Asia tenggara, salah satu paru-paru dunia yang jatuh ke tanah Papua.
Dilansir dari kompas.id (Harian Kompas), sebagai kawasan konservasi, ekosistemnya lengkap membentang dari pesisir laut arafura hingga Pegunungan Jayawijaya yang berselimut salju tropis di puncaknya.
Sejak tahun 1999, Taman Nasional Lorentz ditetapkan menjadi warisan alam dunia oleh UNESCO. Taman ini terbagi menjadi tiga zona utama, yaitu zona dataran rendah 0,650 mdpl, zona pegunungan 600 sampai 3.200 mdpl, dan zona Alpin di atas ketinggian 3.200 mdpl. Di zona Alpin, Cartenz adalah puncak tertingginya dengan ketinggian 4.884 mdpl.
Kawasan konservasi seluas 2,3 juta hektar ini memiliki potensi wisata alam yang sangat besar. Salah satunya adalah danau Habema. Saat tiba di danau Habema, rasa takjub tak habis-habisnya saat melihat danau yang begitu megah dikelilingi pakis purba (chyathea atrox).
Danau Habema masuk dalam zona sub-alpin dengan total luas 224 hektar. Jika ditarik garis lurus, jaraknya sekitar 15 kilometer dari puncak Trikora.
Berada di ketinggian 3200 mdpl, danau ini dinobatkan sebagai danau tertinggi di Indonesia. Masyarakat lokal menyebutnya dengan Yuginopa.
Di danau ini, tumbuhan seperti pakis purba dapat tumbuh hingga 3 meter dengan diameter batang hingga 20 cm. Disebut purba karena tumbuhan ini telah hidup sejak 438 juta tahun yang lalu pada zaman paleozoikum.
Sementara itu, suhu di wilayah ini pun bisa mencapai 0 derajat Celcius pada malam hari.
Di danau habema, ada habitat langka seperti itik noso (Anas waigiuensis) dan burung mandar (fulica atra) hingga ikon endemik lainnya seperti isap madu elok (macgregoria pulchra) dan isap madu pipi jingga (oreonis chrysogenis).
Ada juga spesies lainnya, salah satunya adalah phyllocladus SP yang hidup di ketinggian 3.200 mdpl. Habitatnya tumbuh di sekitaran danau habema. Tumbuhan berdaun rimbun ini memiliki aroma harum seperti buah kedondong.
Di taman Nasional Lorentz, ada 411 spesies burung, 123 spesies, 150 jenis reptil dan amfibi, serta lebih dari 1000 spesies ikan air tawar.
Di antara spesies itu ada spesies langka seperti kanguru pohon (dendrolagus mbaiso). Beratnya bisa mencapai 14 kg dengan tinggi hingga 90 cm. Hewan berkantung ini cenderung lebih kecil dibandingkan kerabatnya kanguru Australia.
Kemudian ada juga Dingo atau yang sering disebut Papua singing dog karena bisa melolong. Dingo hidup di ketinggian 3000 mpdl, terbilang langka dan masih minim penelitiannya.
Karena keterbatasan, masih banyak kekayaan taman Nasional Lorentz yang belum terungkap. Padahal keragaman hayati di sini memiliki manfaat untuk ilmu pengetahuan penjaga lingkungan dan berpotensi dimanfaatkan untuk obat-obatan.
Dengan lahan seluas 2,3 juta hektar Balai taman Nasional Lorentz diawasi oleh 60 personel. 26 orang diantaranya merupakan polisi hutan.
Flores dan hutan Papua adalah salah satu hutan terluas yang masih tersisa di Indonesia. Warisan cagar alam ini tentu perlu dijaga terlebih jika akses transportasi semakin terbuka, ancaman kian besar.
Saat ini, kata Irfan, aktivitas ekspedisi di Puncak Cartenz sementara sedang dihentikan lantaran beberapa kejadian yang merenggut nyawa beberapa orang pendaki serta beberapa kejadian fatal lainnya.
Ia juga mengungkapkan, kondisi salju abadi yang menyelimuti puncak tersebut sangat memprihatinkan karena terus berkurang dari waktu ke waktu.