MIMIKA — Di bawah terik matahari Sabtu (18/10/2025) siang, halaman GOR Futsal Mimika tampak ramai oleh deretan stan pelaku UMKM lokal.
Di antara tumpukan noken, aroma kulit kayu, hingga gelantungan asesoris warna-warni, seorang perempuan duduk tenang di kursi plastik hijau. Tangannya lincah bergerak, seolah memiliki irama sendiri.
Ia adalah Mince Pakage, pengrajin noken asal pegunungan Papua Tengah, yang menamai setiap karyanya dengan satu kata sakral: Agya.
“Agya itu artinya noken dalam bahasa kami, orang Suku Mee di pegunungan Papua Tengah,” katanya menjelaskan sambil tersenyum, matanya menatap hasil rajutannya dengan bangga. “Saya mau angkat kembali nama itu, supaya terkenal. Itu warisan dari nenek moyang kami.”
Noken Lebih dari Sekadar Tas
Bagi sebagian orang, noken mungkin hanya sebuah tas rajut khas Papua. Namun bagi Mince, noken adalah bahasa cinta.
“Kalau engkau tidak punya noken, berarti engkau tidak punya kasih. Tidak pernah berdamai antara sesama,” ujarnya pelan, seolah mengulang ajaran lama yang diwariskan para leluhur.

Noken bukan hanya benda pakai — ia adalah simbol kehidupan. Di dalamnya, para mama Papua menaruh hasil bumi, membawa bayi mereka, atau memikul harapan keluarga.
“Orang bilang kalau bawa noken itu kelihatan jorok,” kata Mince, “tapi bagi kami itu tanda kasih, tanda cinta terhadap anak, terhadap suami, terhadap orang lain.”
Rajutan yang Mengajarkan Kesabaran
Mince tumbuh di lingkungan yang sederhana, di mana keterampilan merajut bukanlah pilihan, melainkan warisan.
“Mama dulu rajut-rajut noken sambil duduk, kami anak-anak duduk di samping, lihat, lalu ikut. Jadi, dari kecil sudah terbiasa,” kenangnya.
Kini, di sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, ia melanjutkan tradisi itu sambil memperluas cakrawalanya.
Dari noken kulit kayu, noken anggrek, hingga produk turunan seperti anting, bando, kalung, gelang, bahkan baju rajut. Semua ia buat dengan tangan, satu demi satu, tanpa mesin.
“Kalau dari benang pabrik, sehari bisa jadi,” katanya, “tapi kalau dari kulit kayu, dua hari, bahkan lebih. Harus sabar. Semua pakai tenaga. Ambil bahan di hutan, pintal manual, rajut pelan-pelan. Tidak bisa buru-buru.”

Proses panjang itu membuat noken kulit kayu dan noken anggrek bernilai tinggi. Beberapa bahkan bisa mencapai harga jutaan rupiah.
“Itu bukan mahal, karena yang dijual bukan cuma barang, tapi tenaga, waktu, dan kesabaran.” ujarnya.
Warisan dari Hutan
Di balik keindahan Noken Agya, tersimpan hubungan mendalam antara manusia dan alam. Bahan utama noken — kulit kayu genemo, mani, dan anggrek hutan — hanya bisa ditemukan di lokasi tertentu.
“Tidak semua pohon bisa dipakai. Hanya pohon-pohon tertentu di rawa atau di gunung,” jelas Mince.
Oleh karena itu, ketika hutan-hutan mulai ditebang demi proyek pembangunan, hati Mince ikut waswas. “Kalau proyek di hutan itu tidak menghasilkan tapi merugikan, lebih baik dibatasi,” tandasnnya.
“Kalau pohon-pohon habis, nanti kami ambil bahan dari mana? Noken ini sudah diakui UNESCO. Kalau hutan hilang, mau bagaimana generasi nanti bisa buat noken lagi?”

Baginya, menjaga hutan sama dengan menjaga budaya. Noken tidak akan hidup tanpa pepohonan. Dan pohon tidak akan tumbuh tanpa manusia yang mau melindunginya.
Dari Jalanan ke Sentra UMKM
Perjalanan Mince sebagai pengrajin noken tak selalu mulus. Ia memulai usahanya lebih dari sepuluh tahun lalu, berjualan di pinggir jalan Yos Sudarso, tepat di depan kantor YPMAK.
“Dulu saya duduk di pinggir jalan, panas, noken luntur kena matahari. Tapi tetap jual, karena itu penghidupan saya,” kenangnya.
Kini, ia sudah menempati tempat yang lebih layak — Sentra UMKM Kabupaten Mimika, hasil program Dinas Koperasi setempat.
Di sana, ia bisa memajang Noken Agya dengan bangga, dan melayani pelanggan yang datang dari berbagai daerah.
Jika pengunjung tak sempat datang langsung, mereka bisa menemukan produknya di berbagai platform daring: Shopee (Noken Kreatif Minjepage), TikTok Shop (Kreatif Rajutan Minjepage), dan Facebook/Instagram: Mince Pakage Pakage Pakage.
“Kalau minat, hubungi saja saya,” ujarnya menutup dengan senyum hangat. “Cintailah Noken Agya, berkat akan melimpah.”
Membangkitkan Generasi Penerus
Namun di balik semangat itu, Mince menyimpan satu kekhawatiran besar: regenerasi. “Anak-anak muda sekarang tidak banyak yang mau belajar,” katanya.
“Kalau tidak ada pembeli, tidak ada semangat. Tapi kalau ada yang pesan, mereka semangat bantu. Jadi saya mau bangkitkan anak-anak muda supaya ikut bikin,” imbuhnya.

Mince percaya, jika noken bisa menembus pasar luar Papua, bahkan dunia, maka kebanggaan itu akan tumbuh kembali di dada anak-anak muda Papua.
“Kalau sudah terkenal sampai ke luar negeri, mereka akan lihat ini bukan barang kampungan. Ini kebanggaan kita,” ujarnya.
Menganyam Masa Depan
Di akhir wawancara, Mince menatap noken yang belum selesai dirajut. Jari-jarinya berhenti sejenak, lalu tersenyum kecil.
“Kalau kita buat noken, kita harus tenang. Tidak boleh marah-marah, tidak boleh terburu-buru. Kalau hati rusuh, hasilnya tidak bagus.”
Mungkin di situlah rahasia noken: ia bukan sekadar kerajinan tangan, tapi juga latihan jiwa. Di setiap simpul benang, ada kesabaran. Di setiap helai kulit kayu, ada kisah hutan. Dan di setiap noken Agya, ada kasih yang ditenun oleh seorang perempuan Papua — untuk dunia.
Sebagai informasi, noken adalah tas rajut tradisional masyarakat Papua yang telah diakui UNESCO sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity sejak 2022.
Noken terbuat dari serat alami kulit kayu, noken melambangkan kedamaian, kerja keras, dan kasih sayang.
Noken digunakan untuk membawa hasil bumi, menggendong anak, dan kini berkembang menjadi ikon budaya yang menembus batas mode dan seni kontemporer.