MIMIKA – “Saya belajar banyak hal sejak menjadi mitra Freeport Indonesia dan bersyukur meski tidak sekolah, saya dibimbing hingga bisa punya usaha sendiri dan hasilnya bisa dinikmati bersama keluarga,” kata Tina Komangal (43) mengawali ceritanya.
Siang itu Tina mengenakan kemeja batik dan bawahan hitam, dibalut rompi dan helm sebagai Alat Pelindung Diri (APD).
Perempuan asal Kampung Waa Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, ini tengah memeriksa tanaman cabe yang terhampar di kawasan MP-21, yakni Pusat Reklamasi dan Keanekaragaman Hayati yang dikelola PT Freeport Indonesia (PTFI).
Di kawasan reklamasi tailing dan percontohan ini, sebagian lahan endapan tailing telah diubah menjadi lahan produktif melalui berbagai program reklamasi yang mencakup pertanian tanaman semusim, hortikultur, tanaman perkebunan, peternakan sapi, kehutanan, dan budidaya perikanan air tawar.
Tailing merupakan pasir sisa dari hasil proses pengolahan batuan bijih tambang di pabrik pengolahan PTFI. Tailing diendapkan dan dikelola pada suatu daerah yang ditetapkan di area dataran rendah.
Tina merupakan warga Suku Amungme yang sejak 2012 bekerja sebagai kontraktor di PTFI. Ia bersama delapan karyawannya mengelola pertanian dan penghijauan. Tugasnya menanam dan merawat tomat, cabe, kacang panjang, terong, pepaya, pisang dan buah-buahan lainnya.
“Meski lahan bercocok tanam ini pasir tailing, tapi sayuran dan buah-buahan bisa tumbuh baik dan aman dikonsumsi,” katanya.
Sebelum bergabung bersama PTFI, Tina sewaktu muda bekerja menjadi Penerjemah Bahasa Amungme di RS Banti.
“Dulu saya membantu orang-orang dari gunung yang mau berobat ke rumah sakit. Mereka sulit berkomunikasi dengan petugas rumah sakit. Saya yang membantu mereka cerita keluhan sakitnya ke petugas kesehatan,” kata Tina yang mengaku dari profesinya ini belajar berbahasa Indonesia dengan baik.
Selama sembilan tahun, ia menjadi juru Bahasa, hingga kemudian PTFI membuka pelatihan untuk calon pengusaha dari tujuh suku di sekitar kawasan pertambangan.
“Di Freeport, belajar mengelola keuangan, mendirikan usaha, mengatur karyawan. Orang-orang Freeport sudah seperti guru saya, mendampingi saya sampai bisa bekerja,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Kini 12 tahun berlalu sejak Tina bermitra dengan Freeport. Berkat keuletan dan kerja kerasnya, Tina berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga universitas, mampu menyediakan rumah sehat untuk keluarga, dan punya kendaraan sendiri.
“Itu yang saya pikir tadinya hanya bisa didapatkan orang yang sekolah tinggi (universitas). Tapi saya bisa buktikan, saya mampu,” katanya.
Senada dengan Tina, kehidupan Frederikus Okoare (42) terus meningkat sejak bergabung sebagai mitra PTFI.
“Dulu saat belum kerja, saya berpikir bagaimana bikin legalitas usaha. Lalu saya ikut pelatihan oleh PTFI,” kata pria Suku Kamoro ini.
Setelah mengikuti pelatihan yang panjang, Frederikus mendapat pekerjaan sebagai kontraktor di bagian pengelolaan lingkungan PTFI.
Frederikus mulai bergabung sebagai mitra PTFI pada 2013 dan kini telah memiliki 18 karyawan yang seluruhnya adalah putra Papua.
“Awalnya kami bertugas menanam pohon sagu, pohon cemara, dan menanam mangrove,” katanya.
Seiring berjalannya waktu dan kemitraan yang terus berlanjut, saat ini, Frederikus dan timnya bertugas di Muara Ajkwa untuk menyiapkan lahan endapan tailing menjadi kawasan mangrove yang baru.
Direktur & EVP Sustainable Development & Community Relations PTFI, Claus Wamafma, mengatakan dalam menjalankan usaha pertambangan, PTFI memperhatikan pengembangan masyarakat Amungme, Kamoro, dan 5 suku kerabat serta masyarakat Papua lainya.
“Masyarakat di sekitar area pertambangan adalah prioritas. Berbagai upaya terus kami lakukan untuk memastikan mereka dapat terus bertumbuh bersama PTFI, membangun ekonominya, meningkatkan kualitas hidupnya,” kata Claus.
Dalam menjalankan bisnis, lanjut Claus, PTFI berkomitmen mewujudkan praktik pertambangan yang baik, menjalankan investasi sosial, dan lingkungan yang berkelanjutan.