ANIM HA – Sebanyak tujuh organisasi masyarakat sipil di Merauke dan Jakarta mendesak Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi hingga kampung segera menyelesaikan masalah krisis pangan dan kebakaran hutan yang melanda Provinsi Papua Selatan.
Ketujuh organisasi tersebut yakni Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, FIAN Indonesia, Greenpeace Indonesia, Perkumpulan Petrus Vertenten MSC Papua, Perkumpulan Harmoni Alam Papuana, LBH PAPUA Pos Merauke, dan SKP Keuskupuan Agats-Asmat.
Dalam pers rilis yang diterima GaleriPapua.com, Minggu (13/8/2023), disampaikan bahwa mereka telah bertemu dan mendengarkan keluhan terkait situasi buruk dan kesulitan pangan serta air bersih yang dialami masyarakat adat di Distrik Malind, Kaptel, dan Eligobel di Kabupaten Merauke.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal serupa juga diderita masyarakat adat di wilayah Kepi, Obaa, dan Manjemur di Kabupaten Mappi, serta Distrik Fayit di Kabupaten Asmat, yang keseluruhannya berada di Provinsi Papua Selatan.
“Warga kesulitan memperoleh air bersih dan (kalau ada harganya, red) mahal. Lahan dan tanaman pangan mengalami kekeringan. Sedangkan hasil panen di luar target dan tidak mencukupi kebutuhan pangan keluarga,” demikian bunyi rilis tersebut.
Keluhan lain dari masyarakat ialah aktivitas menokok sagu di dusun berhenti karena kekeringan dan hewan buruan semakin jauh ke dalam hutan.
Menurut mereka, masyarakat mengalami kesulitan dalam mengusahakan pemenuhan pangan ditambah sumber air dari dusun dan hutan jauh dari kampung.
“Air sungai kering. Rawa dan sungai juga kondisi buruk, tidak sehat, dan diduga tercemar sehingga masyarakat menghindari dan tidak dapat mengkonsumsi air sungai,” ungkap rilis itu.
Oleh karena itu, mereka mendesak pemerintah pusat hingga kampung untuk bekerja sama dengan organisasi keagamaan untuk melindungi hutan yang kaya dan segera mengantisipasi darurat pangan serta kebakaran hutan dan lahan yang melanda wilayah terdampak.
“Dengan membuka pos pelayanan dan tanggap darurat pangan, sebagai saluran berbagi informasi dan pemberian bantuan pangan yang layak dan sehat,” tulis mereka sebagai solusi.
Selain itu, dalam rilis tersebut mereka juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan penyelidikan terhadap dugaan kebakaran lahan dan hutan yang terjadi pada areal konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri di Kabupaten Merauke, serta mengupayakan penertiban dan penegakan hukum.
Dalam rentang 14 hari terakhir (23 Juli – 11 Agustus 2023), mereka menyatakan telah ditemukan titik panas sebanyak 2.270 titik di seluruh Tanah Papua.
![](https://galeripapua.com/wp-content/uploads/2023/08/1691933966741-1.jpg)
Terbanyak, menurut citra satelit yang dipantau mereka melalui Modis dan Viirs dalam laman map.nusantara-atlas.org, di Provinsi Papua Selatan terdapat sebanyak 1.910 titik panas.
Jumlah hot spot (titik panas) per kabupaten terbanyak berada di Kabupaten Merauke sebanyak 1.576 titik panas dan Mappi sebanyak 302 titik.
Di tingkatan distrik, titik panas tertinggi berjumlah di atas 100 titik yang tersebar antara lain di Distrik Okaba, Sota, Naukenjerai, Kimaam, Tabonji, Waan, dan Tanah Miring di Kabupaten Merauke, serta di Distrik Obaa, Kabupaten Mappi.
Terdapat titik panas serupa di areal konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Agriprima Cipta Persada, PT Internusa Jaya Sejahtera, dan PT Hardaya Sawit Plantation yang berlokasi di Kabupaten Merauke, dan konsesi perusahan Hutan Tanaman Industri PT Selaras Inti Semesta dan PT Plasma Nutfah Marind Papua di Kabupaten Merauke.
Di samping itu, mereka juga mendesak pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memajukan pengetahuan serta sistem pangan masyarakat adat dengan mengamankan lahan dan hutan sumber pangan masyarakat.
Ditambah, melakukan perlindungan dan pemberdayaan usaha pangan masyarakat adat, organisasi usaha, inovasi teknologi, pemberian modal dan pasar secara berkelanjutan.