Operasi penambangan PT Freeport Indonesia yang telah lebih dari setengah abad di tanah Papua, telah menimbulkan derita berkepanjangan bagi warga dan lingkungan hidup.
Setelah gunung dibabat dan tanah dirampas dan dilubangi, sungai sebagai ruang hidup warga asli Papua, terutama suku Kamoro dan suku Sempan, diracuni jutaan ton limbah beracun setiap hari.
Selain tercemar, sungai-sungai yang esensial bagi transportasi dan sumber hidup warga mengalami pendangkalan hingga sebagian pemukiman (kampung) penduduk terisolir.
Lebih dari 300 juta ton limbah tailing yang dibuang ke laut, diduga sebagai pemicu munculnya wabah penyakit kulit bagi warga, sebagaimana dialami warga kampung Otakwa (Ohotya).
Ironisnya, kejahatan lingkungan dan kemanusiaan itu diabaikan hingga saat ini. Pemerintah dan Freeport hanya peduli soal saham dan cuan, memastikan pendapatan negara terus mengalir, tak terganggu.
Pihak Freeport tampak tidak mau bertanggung jawab, lalu berdalih menggunakan peta wilayah konsesinya sebagai dasar pemberian kompensasi terhadap warga terdampak, enggan bertanggung jawab atas segala daya rusak yang dialami warga suku Sempan, Amungme, Kamoro di tiga desa, terutama bagi warga yang tersebar di 23 kampung yang tersebar di Distrik Jita, Distrik Agimuga dan Distrik Mimika Timur Jauh.
Sementara Presiden Jokowi, pasca melakukan divestasi saham Freeport sebesar 51,2%, mewanti-wanti publik untuk tak lagi menganggap Freeport milik Amerika.
Realitasnya, komposisi kepemilikan saham yang besar itu justru tak berdampak pada munculnya kedaulatan negara untuk memastikan ada penegakan hukum atas kejahatan korporasi.
Sebaliknya, kejahatan demi kejahatan dibiarkan dan dilanjutkan, bahkan negara justru menjadi bagian dari pelaku kejahatan itu sendiri.
Upaya perlawanan dan protes berulang dari warga terdampak pun justru dihadapi dengan tindakan represif negara dan korporasi.
Bahkan, tak jarang cara-cara licik dilakukan Freeport, seperti menyiasati tetua adat tertentu sebagai bagian dari perwakilan warga terdampak, untuk terlibat dalam proses pembahasan AMDAL.
Cara-cara licik seperti ini, selain tak berdasarkan aspirasi warga secara menyeluruh, justru memicu konflik sosial di tengah-tengah warga.
Rentetan kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang terus berulang dan dibiarkan itu juga telah diadukan ke pemerintah pusat melalui Komisi IV DPR RI.
Pada Rabu (01/02/23), misalnya, anggota DPRD Papua sekaligus ketua Kelompok Khusus (Poksus Papua), John Gobay bersama Adolfina Kuum dari Yayasan Lepemawi, Timika melakukan hearing di DPR RI.
Dalam RDP tersebut, John Gobay dan Adolfina Kuum mendesak pemerintah untuk segera melakukan audit atas seluruh operasi pertambangan Freeport, terutama dampaknya terhadap warga dan lingkungan.
“Pendangkalan atas sungai-sungai oleh limbah tailing itu nyata terjadi. Kehidupan warga suku Kamoro dan Sempan, yang dikenal budaya 3S (sungai, sampan, dan sagu) mulai hilang,” ujar John Gobay.
Sementara itu, Adolfina Kuum mempertanyakan ketakberdayaan negara di hadapan sejumlah kejahatan Freeport atas warga dan lingkungan Papua.
“Pemerintah dan Freeport telah mencuri kekayaan orang Papua. Sementara kejahatan yang dilakukan perusahaan tak pernah dilakukan penegakan hukum, apalagi dilakukan pemulihan dan ganti rugi atas segala kerusakan,” ujar Doli.
Atas seluruh temuan tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan di atas, M. Jamil, Kepala Divisi Hukum JATAM berpandangan, akuisisi saham Freeport sebesar 51% tak berdampak pada menguatnya kedaulatan pemerintah Indonesia untuk mengatur Freeport agar taat dan patuh pada hukum dan peraturan yang berlaku.
“Sedang berlangsung pagelaran pelanggaran hukum yang dilakukan secara bersama oleh korporasi dan negara dengan melakukan pembiaran atas praktik kejahatan tanpa adanya penegakan hukum. Hal ini jelas menunjukkan pembangkangan oleh korporasi–negara secara terang-terangan terhadap konstitusi UUD 1945,” tegas Jamil.
Menurut Jamil, pembiaran atas seluruh tindak kejahatan itu tidaklah mengherankan. Sebab, pemerintah Indonesia telah berkali-kali kehilangan akal sehat dan tunduk pada Freeport.
Pertama, Presiden Megawati pada 2004 menerbitkan Keppres yang melegalkan 13 perusahaan tambang yang lahannya tumpang tindih dengan hutan lindung diizinkan melanjutkan kegiatan operasionalnya di kawasan tersebut hingga kontraknya berakhir, Freeport menempati nomor urut pertama.
Kedua, Kementerian ESDM RI, menghapus Permen ESDM Nomor 11/2014 dengan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2016, yang akhirnya memberikan keleluasaan bagi Freeport untuk tetap melakukan ekspor bahan tambang mentah konsentrat ke luar Negeri.
Ketiga, Kementerian LHK yang kehilangan akal sehat pada 2018, saat menemukan 22 kegiatan melanggar Amdal, salah satunya perluasan ukuran tambang terbuka grasberg dari 410 hektar menjadi 584 hektar, menjadikan lima sungai sebagai tempat pembuangan limbah beracun (merkuri dan sianida), bukannya melakukan penegakan hukum, justru malah menerbitkan surat agar Freeport menyusun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH).
Keempat, temuan BPK yang menyebutkan terdapat kerugian negara mencapai Rp185 triliun akibat saat operasi produksi, Freeport menggunakan kawasan hutan lindung seluas minimal 4.535 hektar tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ( IPPKH).
Adapun terkait konflik horizontal akibat siasat licik Freeport yang hanya memilih orang-orang tertentu untuk membicarakan AMDAL yang menjadi syarat terbitnya perizinan lingkungan dan dokumen-dokumen lain terkait aktivitas tambang, juga menyalahi aturan.
“Model pelibatan masyarakat ala Freeport adalah salah secara hukum, melanggar ketentuan Pasal 26 UU PPLH 32/2009 dan turunannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup 17/2012 Tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Amdal dan Izin Lingkungan,” ujar Jamil.
Menurut Jamil, jika proses tersebut tetap diteruskan oleh Freeport bersama Menteri LHK maka amdal dan perizinan lingkungan yang dihasilkan cacat prosedur dan cacat yuridis sehingga harus batal demi hukum.
Narahubung:
Adolfina Kuum – Pegiat Yayasan Lepemawi – +6282198456188
John Gobay – Anggota DPRD Papua, Ketua Kelompok Khusus (Poksus) Papua – +6282199664581
Muh. Jamil – Kepala Divisi Hukum JATAM – +6282156470477