MIMIKA – Plt Bupati Mimika, Johannes Rettob, memberikan tanggapan kepada awak media di Timika terkait penetapan statusnya sebagai tersangka pengadaan pesawat dan helikopter oleh Kejaksaan Tinggi Papua.
Johannes Rettob menyampaikan klarifikasi tersebut di Mels Cafe, Jalan Hasanuddin, pada Rabu (25/01/2023) malam. Ia mengatakan bahwa pada Selasa (24/01/223) kemarin, ia diundang untuk memberikan keterangan.
Menurutnya, keterangan yang ia sampaikan kemarin sama dengan keterangan yang ia sampaikan di pemanggilan sebelumnya.
“Kalau memang ternyata ditetapkan jadi tersangka, saya kira skenario ini sudah dari awal karena tidak pernah ada perubahan dengan berita yang tadi saya baca itu. Itu hampir praktis sama dengan berita-berita yang sebelumnya,” ungkapnya.
Rettob menegaskan, ia tidak terlalu memikirkan hal tersebut karena statusnya baru disangkakan.
“Kita lihat waktunya saja. Proses hukum silakan jalan. Bagi saya tidak ada masalah karena selama pemeriksaan, saya tidak pernah ditanya sedikit pun tentang kerugian negara,” ungkapnya.
“Kalau korupsi itu kan ada beberapa faktor, merugikan negara, gratifikasi. Kalau misalnya dibilang nepotisme dan dibilang terkait dengan proses pelelangan, semua sudah kita lakukan sesuai dengan ketentuan,” jelasnya.
Plt John Rettob mengatakan, jika semua proses tidak dilakukan dengan benar dan terbukti korupsi, maka pada tahun 2017 ia sudah pasti ditetapkan sebagai tersangka di KPK.
“Karena yang diperiksa ini kan sama sebenarnya. Saya sudah melakukan pemeriksaan di KPK itu selama kurang lebih dua tahun, 2017 sampai 2019. Materinya sama. Pemeriksaan di sana lebih teliti, sampai rekening-rekening saya diperiksa,” ungkapnya.
“Kalau kemarin, hampir praktis pemeriksaan begitu-begitu saja. Tidak ada sedikitpun materi yang ditanya tentang kerugian. Nah, tadi saya baca (berita) ada kerugian negara berdasarkan audit akuntan publik. Kalau akuntan publik seharusnya saya dilibatkan di dalam pertanyaan,” jelasnya.
Ia mengatakan dalam pemeriksaan kerugian negara seperti yang dituduhkan, seharusya dirinya ditanyakan terkait hal tersebut. Apakah hitunganya sesuai atau tidak.
“Tidak usahlah akuntan publik, BPK juga begitu. BPKP juga begitu. Kita yang jadi persoalan harus ditanya juga. Kan saya tidak pernah ditanya. Jadi tidak apa-apa. Itu biar saja. Ini kan mungkin tahun politik. Jalan saja,” ungkapnya.
“Ini pemerintah ini, sekarang pak bupati sudah masuk dalam persidangan, terus apa saya lagi? Kan begitu. Ini kan proses yang luar biasa. Itu satu,” ujarnya.
Walau telah disangkakan demikian, Plt John Rettob tetap menghargai proses tersebut. Ia menghargai hal tersebut karena menurutnya, Ia tidak seperti yang dituduhkan.
“Kenapa saya menghargai, karena saya merasa saya tidak pernah buat apa-apa. Bahkan saya rugi banyak untuk mengurus barang itu. Pesawat ini. Kerugian terlalu banyak,” terangnya.
Ia menjelaskan pada saat memasukan pesawat ke Timika, dirinya yang memfaslitasi pilot, engginer dan crew baik itu tempat tinggal, makan minum hingga berbagai kebutuhan lainnya.
“Segalanya saya tanggung karena uang tidak cukup. Kalau dibilang katanya Rp43 miliar, Rp43 miliar itu kan sama dengan seharga helikopter. Sekarang helikopter kan ada. Milik pemerintah kabupaten. Kecuali kalau helikopter itu yang disangkakan dia bilang katanya saya leasing. Bagaimana lising, kontraknya ada,” ungkapnya.
“Saya bilang sama kejaksaan, kalau kamu mau periksa tentang helikopter baru atau bekas, atau bagaimana belinya, kamu tanya saja di pabrik. Pabrik di Malaysia dekat saja kok. Pergi saja tanya. Nomor serinya ada, tahun pembuatannya kapan. Itu kan semua ada. Dan itu memang tidak pernah ditanyakan sih sama saya tapi justru saya yang memberikan informasi,” lanjutnya.
John mengungkapkan bahwa saat dirinya dimintai keterangan, terdapat kurang lebih 13 pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.
“Pertanyaannya juga cuma pertanyaan begitu-begitu saja. Apakah anda sehat? Apakah ini sehat? Ya begitu. Lalu dia tanyakan, apakah saudara masih memberikan jawaban lagi. Saya jawab, oh masih, masih bisa. Kapan saja dipanggil, saya datang,” jawab John tanpa ragu.
John juga menegaskan bahwa dirinya adalah seorang wakil bupati maupun Plt bupati, sehingga bilamana ingin melakukan pemeriksaan terhadap dirinya, semestinya berizin dulu melalui Kemendagri.
“Tapi saya tidak pernah pikir itu. Saya datang seperti biasa karena saya rasa kasus ini kasus biasa bagi saya,” tandasnya.
Lebih lanjut, John mengatakan jika memang betul ia ditetapkan sebagai tersangka, seharusnya dia kabari langsung oleh pihak kejaksaan.
“Masa saya tahunya dari media. Itu yang pertama. Yang kedua, memang ini sudah diatur, menurut saya. Karena apa yang disangkakan pada saat awal persis sama seperti yang bahasa sekarang. Berarti hasil pemeriksaan kita tidak ada guna dong,” ucapnya.
Saat ditanyai oleh awak media sudah berapa kali dipanggil untuk pemeriksaan, John menyebutkan dua kali oleh Kejati Papua dan empat kali oleh KPK.
“Dua kali itu pun pertanyaannya tidak seperti KPK. Kalau KPK kan ditanya sampai rekeningnya, aliran dananya. Segala macam itu dicek. Kalau ini kan tidak ada. Hanya pertanyaan-pertanyaan yang biasa, apakah lelang kah, apa kah. Kalau dibilang tidak lelang, dibilang katanya persoalannya tidak lelang, memang tidak perlu lelang. Aturannya jelas kok di dalam peraturan 54” jelasnya.
“Kami beli dengan pabrik karena efisien. Pengadaan pesawat dulu, kalau kita mau bicara perencanaan, kita rencanakan dulu baru kita tetapkan uangnya. Barangnya seperti apa begitu. Itu kan dulu. Dulu kami tidak pernah merencanakan Dinas Perhubungan loh. Saya waktu itu kepala bidang, saya tidak merencanakan. Tiba-tiba saja muncul di APBD. Saya tidak tahu dari mana datangnya,” ungkapnya.
Bahkan John sempat mengatakan kepada Kepala Dinas Perhubungan bahwa membeli pesawat memang gampang. Namun, operasionalnya yang tidak mudah.
“Saya kira saya sudah pernah menerangkan ya bagaimana kita cari operator begitu setengah mati, sampai kita harus melakukan akusisi saham. Kemudian bagaimana saya harus komunikasi dengan Amerika. Kita harus komunikasi dengan Prancis untuk segala macam. Itu pekerjaan tidak mudah dan saya lakukan semua,” tuturnya.
“Apakah dari situ saya dapat uang? Tidak kan. Uang itu cuma Rp85 miliar. Harga pesawat sudah Rp80 miliar. Itu tercatat dan terdata. Kurs dollar dia naik. Terus kalau saya korupsi Rp43 miliar, terus pesawatnya darimana ini belinya. Ini kan logika berpikirnya kan seperti itu. Kan begitu,” sambungnya.
Dikatakan semua kwitansi jelas beserta bukti bill of sale dan invoicenya yang mana total harga kedua pesawat hampir Rp80 miliar lebih sedikit.
“Jadi masih ada sisa Rp5 miliar kan. Kalau korupsi ya dari Rp5 miliar ini. Tapi Rp5 miliar ini untuk gaji pilot, ferry flight, bayar jasa bandara, beli avtur, proving flight, perizinan-perizinan seperti sertifikasi dan lain lain. Dua pesawat loh hanya dengan dana Rp5 miliar tentu uangnya kurang,” ungkap John.
Kata dia, bukti bahwa uang kurang itu adalah sesuatu yang nyata.
“Terus yang di bawah meja, uang siapa itu. Ini Indonesia ini, kita mau urus perizinan harus pakai uang di bawah meja loh, kalau kita mau cepat. Tapi itu kita tidak usah ngomong, tentunya saya kira. Tapi itu memang kenyataan, kenyataan di Indonesia seperti itu,” ujarnya.
“Terus mereka (pilot) datang dari sana, pilot-pilot nya selama operasi di sini terus tidur dimana. Ibu (istrinya) itu yang kasih makan itu, masak untuk mereka. Rumah saya, saya pakai untuk tempat tinggal mereka. Saya tampung mereka semua di sana, karena kami tidak sanggup bayar hotel. Uang sudah tidak ada. Terus sekarang saya mau korupsi Rp43 miliar?” tandasnya.
Selain itu, lanjut John, selama pesawat tersebut dioperasikan, tentu ada ongkos maintenance. Uang untuk maintenance itu, kata John, adalah bersumber dari hasil kredit menggunakan uang pribadi.
“Asian one tidak punya uang, karena dia harus setor ke pemda. Makanya Asian one kan punya piutang kepada Pemda yang sekarang dia lagi cicil karena dia tidak sanggup bayar, karena dia rugi. Akhirnya saya kredit uang untuk membiayai pesawat. Ini yang tidak pernah ditanyakan, tidak pernah diperiksa alur dananya itu,” ungkap John.
“Saya kredit uang dari Bank Mandiri, terus dari Bank Mandiri saya kirim sama Asian One. Terus Asian One kirim ke pabrik terus pesawat kita diperbaiki di sana. Siapa yang ini, uang pribadi. Tidak gampang, tapi ya tidak apa-apa,” lanjut John menjelaskan.
Menurutnya kasus ini baru disangkakan. Semua akan terlihat dalam perjalanan. Waktu yang akan membuktikan, katanya.
“Tuhan dia tahu apa yang kita buat untuk daerah ini. Tuhan tahu apa yang saya buat untuk pemerintah ini. Tuhan tahu apa dengan ikhlas hati saya lakukan. Jadi nanti kita lihat saja dalam perkembangan. Saya tidak gentar sedikit juga. Hati saya tu tenang saja. Saya baru tahu tadi saya baca waktu di acara. Nggak ada pemberitahuan langsung ke saya,” ucapnya.
Di akhir tanggapannya, John berpesan kepada seluruh masyarakat Kabupaten Mimika agar tetap tenang dan tidak perlu khawatir.
“Saya bekerja tetap untuk masyarakat Mimika. Saat ini saya ditugaskan untuk menjadi pelaksana tugas bupati, dan kita tetap kerja seperi biasa. Masyarakat juga tetap seperti biasa. Kalau memang itu dilakukan proses hukum, silakan jalan, silakan saja. Sebagai warga negara saya tetap jalankan seperti biasa,” tuturnya.
John menilai bahwa persoalan ini kembali diangkat tentunya karena ada tekanan-tekanan luar biasa.
“Ini karena tekanan tekanan luar biasa. Kemarin mereka demo di Jakarta untuk menekan ini. Dan ternyata betul-betul jadi penekanan. Penekanan dilakukan luar biasa sehingga jadi seperti ini. Jadi kurang lebih begitu,” kata John.
“Jadi masyarakat Mimika tetap tenang. Saya tetap bekerja untuk masyarakat Mimika karena saya juga sudah dapat telpon begitu banyak, dimana mereka mau membuat segala macam, tapi saya kira masyarakat harus tetap tenang,” pesannya.
John menyampaikan, jika ia benar-benar ditetapkan menjadi berarti kemungkinan kejaksaan memiliki bukti bahwa dirinya korupsi.
“Tapi kalau dibilang sampai Rp43 miliar, saya macam rasa lucu lagi. Dari mana Rp43 miliar, kan pesawat saja sudah harga begitu. Kecuali kalau memang tidak ada pesawat nya, tidak ada helikopter nya baru betul. Saya ini tidak ada perasaan takut sedikit pun!” pungkasnya.